As-Salaf As-Shalih Rujukan dalam Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah
Sumber : Diambil dari artikel majalah Fatawa
Pengertian ‘Salaf’
Secara bahasa, salaf berarti orang-orang yang mendahului kita, baik dari segi keilmuan, keimanan, keutamaan, maupun kebaikannya. Ibnul Manzhur berkata, “Salaf juga berarti orang-orang yang mendahuluimu, baik orang tua maupun karib kerabatmu yang lebih tua dan utama darimu.” Termasuk dalam pengertian ini apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah kepada putrinya Fatimah az-Zahra’,
“Sesunguhnya sebaik-baik salaf bagimu adalah aku” HR. Muslim (no. 1450).
Adapun yang dimaksud ‘salaf’ menurut istilah para ulama pada asalnya adalah para sahabat Nabi, kemudian disertakan kepada mereka -dalam istilah tersebut- generasi sesudah mereka yang mengikuti jejak mereka. Kitab Limadza Ikhtartu Madzhab Salaf hal. 30
Sedangkan menurut tinjauan waktu, maka ‘salaf’ maksudnya adalah generasi-generasi terbaik yang patut diteladani dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan keutamaannya oleh Rasulullah dalam sabdanya:
“Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian sesudahnya lagi.” Akan datang takhrijnya sebentar lagi. Namun, makna ‘salaf’ menurut tinjauan waktu ini masih belum cukup, karena kita melihat kemunculan firqah-firqah sesat dan bid‘ah-bid‘ah pada masa-masa tersebut, sehingga orang yang hidup pada masa tersebut tidak cukup dikatakan bahwa dia berada di atas manhaj Salaf sampai diketahui bahwa dia sejalan dengan para sahabat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, para ulama menambahkan dengan istilah ‘As-Salaf Ash-Shalih’ (generasi Salaf yang saleh). Pada perkembangan selanjutnya istilah salaf dinisbatkan kepada ‘orang-orang yang senantiasa menjaga aqidah dan manhaj hidupnya agar sesuai dengan tuntunan Rasulullah dan para sahabatnya sebelum terjadi perpecahan dan perselisihan’, yaitu dengan munculnya beberapa macam firqah (kelompok Islam sempalan). Ibid hal. 30-33.
Kewajiban Merujuk kepada Pemahaman Salaf
Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup. Keselamatan hidup kita, dunia dan akhirat, hanya akan diperoleh dengan cara kita tunduk dan patuh kepada keduanya (baca kembali “Fatawa” edisi ke-2). Namun kenyataan di lapangan menunjukan bahwa kaum muslimin terpecah-belah dalam berbagai pemahaman. Semua mengklaim dirinyalah yang berpegang kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Masing-masing mengaku paling benar dan menyalahkan orang lain yang menyelisihinya. Pertanyaan kita adalah siapakah yang paling benar dan paling tepat dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kita tidak boleh meyelisihi mereka ? Jawabannya adalah para sahabat Nabi. Para sahabat itulah orang-orang yang paling paham tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah karena mereka hidup di zaman turunnya kedua wahyu tersebut kepada Nabi. Maka wajib bagi kita mengikuti petunjuk dan bimbingan mereka.
Dalil-Dalil Bahwa Pemahaman Salaf Wajib Menjadi Rujukan Lihat Limadza ikhtartu al-manhaj as-salafi hal. 86-98, dengan perubahan.
Beberapa dalil di bawah ini menunjukkan bahwa pemahaman salaf wajib menjadi rujukan umat Islam dalam memahami agamanya.
1. Allah berfirman:
“Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka (dalam melaksanakan) kebaikan, Allah ridha kepada mereka; dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (Q.S. At-Taubah:100).
Dalam ayat di atas Allah memuji generasi Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka. Maka, dari sini dapat diketahui bahwa bila Salaf mengemukakan suatu pendapat kemudian diikuti oleh orang-orang pada generasi berikutnya, maka mereka menjadi orang-orang yang terpuji dan berhak mendapatkan keridhaan dari Allah sebagaimana yang didapatkan oleh generasi Salaf. Kalaulah mengikuti jejak Salaf tidak berbeda dengan mengikuti jejak selainnya, niscaya mereka tidak pantas untuk dipuji dan diridhai; dan hal seperti itu jelas bertentangan dengan ayat di atas. Dengan demikian, berdasarkan ayat di atas telah jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.
2. Allah berfirman,
“Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; menyuruh kepada yang ma‘ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Namun, di antara mereka ternyata ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Q.S. Ali Imran:110)
Dalam ayat ini Allah menetapkan adanya keutamaan generasi Salaf dibanding keseluruhan umat karena pernyataan dalam ayat tersebut tertuju kepada kaum muslimin, yang waktu itu tiada lain adalah para sahabat, generasi salaf pertama yang mendulang ilmu langsung dari Rasulullah tanpa perantara. Adanya pemberian gelar kepada mereka sebagai umat terbaik menunjukkan bahwa mereka itu senantiasa istiqamah dalam segala hal, sehingga tidak akan menyimpang dari kebenaran. Allah juga menjelaskan sifat mereka sebagai bukti kelurusan jalan hidup mereka, yaitu bahwa mereka selalu memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan melarang seluruh yang mungkar. Berdasarkan ayat di atas, juga jelas bahwa pemahaman Salaf menjadi hujjah dan rujukan bagi generasi sesudah mereka sampai Hari Kiamat.
3. Rasulullah bersabda,
“Sebaik–baik manusia adalah generasiku; kemudian generasi sesudahnya; kemudian generasi sesudahnya lagi. Selanjutnya akan datang suatu kaum yang persaksian salah seorang di antara mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” Hadits mutawatir, di antaranya dengan lafal di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari (no. 2509, 3451, dan 6065), Muslim (no. 1533), dan lainnya.
Apakah yang menjadi ukuran kebaikan pada diri mereka (tiga generasi Salaf) dalam hadits Rasulullah tersebut adalah warna kulit, bentuk tubuh, harta, atau yang sejenisnya? Jelas bukan! Dan tidak diragukan lagi bahwa ukuran kebaikan yang dimaksud tidak lain adalah ketakwaan hati dan amal saleh. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian menurut pandangan Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. Al-Hujurat:13)
Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat rupa dan harta kekayaan kalian. Allah hanya akan melihat kepada hati dan amal kalian.” H.R. Muslim (no. 2564).
Salah seorang sahabat Nabi, Ibnu Mas‘ud, menceritakan bahwa Allah telah menjelaskan kepada umat ini bahwa hati para sahabat adalah sebaik-baik hati setelah hati Nabi Muhammad. Allah menganugerahkan kepada mereka pemahaman yang tidak akan pernah dicapai oleh generasi berikutnya. Sehingga, apa-apa yang mereka nilai baik, maka akan baik menurut Allah dan apa-apa yang mereka nilai buruk, juga menjadi buruk menurut Allah Lihat Musnad Ahmad (I/379).
Jadi jelaslah, pemahaman Salaf menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya sampai Hari Akhir nanti.
4. Allah berfirman,
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (Q.S. Al-Baqarah:143)
Kata wasath pada ayat di atas artinya adil dan pilihan. Sebagaimana halnya kandungan ayat pada poin dua, walaupun sifat yang terkandung dalam ayat di atas adalah kaum muslimin secara umum, namun generasi Salaf masuk dalam barisan pertama yang mendapatkan gelaran sifat tersebut. Mereka adalah manusia yang paling adil dan pilihan. Mereka adalah generasi utama dalam umat ini. Mereka paling adil dalam berbuat, dalam berkata-kata, dan dalam berkehendak. Memang sangat pantaslah mereka dijadikan saksi atas seluruh umat. Persaksian mereka akan diterima di hadapan Allah karena persaksian mereka berdasarkan ilmu dan kejujuran. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Dan sembahan-sembahan selain Allah yang mereka sembah itu tidak dapat memberi pembelaan. (Orang yang dapat memberi pembelaan adalah) tidak lain orang yang bersaksi dengan benar (yaitu orang yang bertauhid) dan meyakini(nya).” (Q.S. Az-Zukhruf:86)
Jika persaksian mereka diterima di hadapan Allah, tentu tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi generasi sesudahnya. Memang umat Islam telah bersepakat bahwa tidak ada generasi yang berpredikat adil secara mutlak kecuali para sahabat. Sehingga, berita mereka pasti diterima dan tidak perlu diteliti lagi kebenarannya. Dari situ jelaslah, bahwa pemahaman mereka menjadi rujukan bagi yang lainnya dalam memahami nas-nas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak dan jalan hidup mereka.
5. Allah berfirman,
“… dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku” (Q.S. Luqman:15)
Para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa kembali kepada Allah, sehingga Allah memberikan bimbingan kepada mereka bagaimana berkata dan beramal yang baik. Mengenai hal ini Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembahnya dan mau kembali kepada Allah, mereka mendapatkan kabar gembira; oleh sebab itu, sampaikanlah kabar tersebut kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan-perkataan lalu mengikuti mana yang paling baik di antara perkataan tersebut. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang- orang yang mempunyai akal.” (Q.S. Az-Zummar:17-18)
Orang yang menelaah perjalanan hidup para sahabat pasti akan mengetahui bahwa seluruh sifat yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut dimiliki oleh mereka. Jadi, memang sudah seharusnyalah kita mengikuti jejak mereka dalam memahami agama Allah ini, baik dalam memahami Kitab-Nya maupun Sunnah Nabi-Nya. Allah mengancam orang yang tidak mau mengikuti jalan mereka dengan api neraka, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
“Barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan tidak mengikuti jalan orang-orang beriman, maka Kami biarkan dia dikuasai oleh kesesatan dan akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahannam. Padahal neraka Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An-Nisa’:115)
Dalam ayat tersebut, Allah mengancam orang yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman. Yaitu, jalan para sahabat -sebagai generasi pertama yang dimaksudkan dalam ayat tersebut- dan generasi sesudahnya. Ini menunjukkan bahwa mengikuti jalan mereka dalam memahami syariat Allah adalah wajib. Barangsiapa berpaling dari jalan mereka, maka dia akan menuai kesesatan dan diancam dengan neraka Jahanam. Tidak ada jalan lain yang harus kita tempuh selain jalan kaum mukminin, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
“Maka (Dzat yang demikian) itulah Allah, Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada yang lain setelah kebenaran itu, kecuali kesesatan. Maka, mengapa kamu mau dipalingkan (dari kebenaran).” (Q.S. Yunus:32)
Siapapun yang tidak mengikuti jalan orang-orang beriman pasti dia mengikuti jalan orang-orang yang tidak beriman. Siapa saja yang mau mengikuti jalan orang-orang beriman -jalannya para sahabat - jelas akan mendapatkan keselamatan. Jelaslah, pemahaman para sahabat -sebagai generasi salaf pertama- dalam memahami agama adalah menjadi rujukan bagi kita semuanya. Barangsiapa berpaling darinya, maka sesungguhnya dia telah memilih kebengkokan dan kesempitan. Cukuplah neraka Jahannam sebagai balasan baginya; padahal Jahannam itu sejelek-jelek tempat kembali dan tempat tinggal.
6. Rasulullah pernah bersabda dalam hadits yang menyebutkan tentang perpecahan umat. Dalam hadits tersebut beliau memerintahkan kepada kita agar memegang teguh sunnah beliau dan sunnah Khulafa’ Rasyidin. Beliau bersabda,
“Wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada perikehidipanku dan perikehidupan Khulafa’ Rasyidin sepeninggalku.”
Beliau menyatakan bahwa dari sekian banyak kelompok Islam hanya ada satu yang selamat dan menjadi ahli surga, yaitu mereka yang menempuh perikehidupan sesuai dengan bimbingan Rasulullah dan para sahabatnya. Hal ini beliau tegaskan dalam sabdanya:
“Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan saja yaitu golongan yang pada saat itu mengikuti peri kehidupanku dan peri kehidupan para sahabatku.”
Berdasarkan riwayat-riwayat di atas kita mengetahui bahwa perikehidupan seluruh sahabat adalah perikehidupan Khulafa’ Rasyidin dan perikehidupan Rasulullah. Jadi jelaslah, pemahaman sahabat -sebagai generasi salaf pertama- menjadi rujukan bagi generasi berikutnya.
Para Salafi Pengikut Jalan Hidup Rasulullah dan Para Sahabatnya
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas jelaslah bahwa mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat adalah satu-satunya jalan keluar dan pilihan yang tepat. Lalu, siapakah di antara sekian banyak kelompok dalam Islam yang jalan hidupnya mengikuti Rasulullah dan para sahabat? Jawabannya tidak lain adalah para salafi.
Jawaban tersebut disimpulkan dari dua hal berikut :
Pertama, paham-paham sesat seperti Khawarij, Rafidhah (Syi‘ah), Murji‘ah, Jahmiyah, Qadariyah, Mu‘tazilah, dan lain-lain muncul setelah masa kenabian dan masa Khulafa’ Rasyidin. Paham-paham sesat seperti itu bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan jalan hidup Rasulullah dan para sahabat. Bukankah tidak mungkin kita mengatakan bahwa jalan hidup para sahabat sama dengan jalan hidup mereka? Jelas tidak mungkin. Dengan demikian jelaslah bahwa yang benar dan perlu kita ikuti jalan hidupnya bukanlah kelompok-kelompok sesat di atas. Kalau bukan mereka itu, siapa? Jelas, para salafi, yaitu orang-orang yang selalu berpegang erat dengan jalan hidup Rasulullah dan para sahabat.
Kedua, tidak kita dapati kelompok-kelompok dalam Islam yang mempunyai jalan hidup seperti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat kecuali Ahlus Sunnah. Ahlus Sunnah ini tidak lain adalah para salafi. Mengapa? Perlu diketahui, bahwa kelompok-kelompok sesat tersebut sebagian dari mereka meragukan keadilan sikap sahabat; sebagian yang lain bahkan mengkafirkan sahabat; sebagian yang lainnya lagi lebih mendewakan akal daripada harus kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Bagaimana mungkin kelompok-kelompok sesat itu mau mengikuti jalan hidup Rasulullah dan para sahabat, sementara jalan hidup mereka seperti itu? Wallahu a‘lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar